Baleg Undang Perwakilan dua Universitas terkait Revisi UU Perjanjian Internasional
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mengundang Suhaidi (Universitas Sumatera) dan Ayyub Muhsin (Universitas Syarif Hidayatullah) untuk mendapatkan masukan-masukan terkait penyusunan RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Rapat yang dipimpin oleh Wakil Ketua Baleg Dimyati Natakusumah, Rabu (20/7) ingin memperoleh masukan-masukan dan menggali lebih jauh pemikiran-pemikiran dari para akademisi tersebut.
Dimyati mengatakan, RUU tentang perubahan atas UU Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional tersebut masuk dalam Program Legislasi Nasional RUU Prioritas Tahun 2011.
Menurut Dimyati, UU Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional sebenarnya sudah mengatur semua hal yang terkait dengan Perjanjian Internasional namun dalam prakteknya dirasa masih banyak kekurangan karena terjadinya perubahan-perubahan terhadap situasi kondisi yang menyebabkan pelaksanaan UU tersebut belum memenuhi catatan valid masa kini, disamping itu juga banyak terjadi kontrak atau perjanjian kerja sama Internasional yang merugikan pihak Negara. Untuk itu, Undang-undang ini perlu dilakukan perubahan.
Anggota Baleg, Hartono (F-PD) mengusulkan untuk menambahkan pada UU ini hubungan negara yang tanpa diplomatik agar dapat berjalan terus. Misalnya perjanjian internasional yang harusnya dilakukan antarnegara yang punya hubungan diplomatik tapi karena faktor-faktor hubungan ekonomi mempunyai imbas kepada politik akhirnya hubungan negara yang tanpa diplomatik dapat berjalan terus.
Sementara anggota Baleg dari fraksi yang sama, Guntur Sasono menanyakan terkait masalah negosiasi, penandatanganan dan ratifikasi. Dimana sebagai negara berkembang, Indonesia cenderung menjadi obyek bagi negara-negara maju. Masih banyaknya perjanjian internasional yang menyangkut hak aset sebuah negara, dimana perjanjian tersebut nuansanya terkait masalah politik, ekonomi, seperti perjanjian Freeport.
”Apakah perjanjian yang tidak mencerminkan rasa keadilan di masyarakat dapat di re-negoisasi seperti halnya dengan Freeport” tanyanya. Mengigat keuntungan yang luar biasa dari Freeport yang tidak dapat dinikmati masyarakat setempat sehingga menimbulkan ketidakadilan.
Menurut Suhaidi, terkait Perjanjian Internasional dengan Negara yang tidak memiliki hubungan diplomatik, yang berarti secara yuridis belum perlu ditampilkan dalam UU karena dampak politiknya akan lebih besar daripada dampak yuridisnya walaupun dalam prakteknya baik secara individu maupun badan hukum biasanya sudah ada hubungan-hubungan perdagangan dan ekonomi dengan Negara-negara yang tidak memiliki hubungan diplomatik.
Dia juga menambahkan, “Kita tidak hanya melihat dari aspek yuridis saja melainkan kita juga harus melihat dari aspek ekonomi, sosial, dan budaya, jadi hukum tersebut tidak berdiri sendiri”,paparnya. (ie/tt)